Kamis, 10 April 2008

Museum HAMKA

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

Pada tanggal 23 Januari 2007, bersama Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, saya berkesempatan mengunjungi Museum Hamka di Maninjau, Sumatera Barat. Kami diantar oleh Bapak Mustamir, ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Sumatera Barat. Museum ini memuat banyak koleksi Hamka, mulai buku, jubah, topi, sampai alat pancing yang digunakan Hamka masa kecil. Bagi saya, kunjungan ke Museum Hamka ini sangatlah berkesan. Untuk pertama kali, saya sempat menginjakkan kaki di tanah kelahiran seorang tokoh dan ulama yang sudah saya baca berbagai karya dan tulisannya, sejak duduk di bangku SMP Negeri 1 Padangan Bojonegoro, Jawa Timur, tahun 1977.


Tulisan Hamka di rubrik “Dari Hati ke Hati” dalam majalah Panji Masyarakat (Panjimas) hampir tidak pernah saya lewatkan. Melalui berbagai tulisan Hamka, saya sudah mengenal bahaya paham sekularisme, termasuk para tokohnya, seperti Kemal Attaturk, yang dalam buku sejarah SMP dipuji sebagai pahlawan besar. Buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, sudah habis saya baca ketika SMP. Ketika duduk di bangku SMA, buku Tasauf Modern karya Hamka, sering saya bawa ke sekolah, karena buku ini memberikan semangat yang tinggi untuk berprestasi. Saya menitikkan air mata ketika membaca tulisan Hamka di Majalah Panjimas yang mempertahankan fatwa haramnya merayakan Natal Bersama bagi umat Islam. Beliau memilih mundur sebagai Ketua MUI, ketimbang harus mencabut fatwa Natal tersebut, karena didesak pemerintah. Tak lama kemudian, beliau meninggal dunia.
Maka, adalah satu karunia besar, ketika tahun 2007 ini saya diberi kesempatan Allah untuk menyaksikan museum Hamka di Maninjau. Bangunannya cukup indah, berlokasi tepat di depan Danau Maninjau yang juga amat sangat indah. Bagi setiap penulis, pemandangan yang sangat indah itu tentu dapat memberikan inspirasi besar. Tidak diragukan lagi, Hamka adalah seorang tokoh dan ulama yang sangat dihormati di berbagai dunia Islam. Kabarnya, ada lebih dari 300 judul buku yang sudah diterbitkan. Tetapi, sayangnya, yang ada di Museum Hamka itu hanya beberapa puluh judul buku saja.
Hamka lahir 17 Februari 1908, di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat. Beliau meninggal di Jakarta 24 Juli 1981. Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, disingkat menjadi HAMKA. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906. Semasa kecil, Hamka belajar agama pada ulama-ulama terkenal, seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, AR Sutan Mansur, dan tentu saja, ayahnya sendiri.
Dari para gurunya itulah, Hamka mampu menimba, mengamalkan, dan bahkan mengembangkan ilmunya. Ia menulis buku dalam berbagai bidang: aqidah, filsafat, sastra, sejarah, politik, dan sebagainya. Pada tahun 1953, Hamka terpilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 1977, Menteri Agama Indonesia, Hamka memenuhi permintaan untuk memimpin Majlis Ulama Indonesia, dan tahun 1981 ia meletakkan jabatan karena soal fatwa Natal tersebut. Hamka juga aktif dalam kegiatan politik melalui Masyumi. Hamka pernah menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi jurkam dalam Pemilu 1955.
Di dunia pers, kiprah Hamka juga cukup banyak. Tahun 1920-an, HAMKA menjadi wartawan beberapa surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, Hamka menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Terakhir, majalah yang sangat monumental yang dipimpinnya Panji Masyarakat. Berbagai penghargaan telah diterimanya, seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958 dan Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974.
Membaca kisah hidup dan perjuangan Hamka, kita akan terkenang pada seorang tokoh yang sangat gigih dalam mengembangkan ilmu dan perjuangan dakwah Islam. Hamka sangat gigih dalam mengembangkan keilmuan Islam. Ratusan karya telah dihasilkannya. Tetapi, sebagaimana tradisi yang berkembang dalam keilmuan Islam selama ratusan tahun, tulisan-tulisan Hamka bukan hanya berisi data-data sejarah tanpa makna, melainkan sarat dengan ruh keimanan dan perjuangan serta memompakan semangat tinggi untuk mempertahankan keyakinan Islam dan memperjuangkan Islam.
Tulisan-tulisan Hamka jauh dari penanaman semangat paham relativisme atau skeptisisme. Seharusnya, ruh ilmu, perjuangan, dan dakwah itulah yang diteruskan oleh gerenasi pelanjut Hamka, khususnya para ilmuwan muslim di Sumatera Barat. Hasil karya Hamka perlu dikaji, diteliti, dan dikembangkan lebih jauh. Harusnya, saat ini di Sumatera Barat sudah berdiri --bukan hanya museum Hamka-- tetapi juga Pusat Studi Hamka yang menghimpun seluruh karya Hamka, termasuk dokumen-dokumen pribadi yang mungkin belum pernah diterbitkan, juga buku-buku, tesis, disertasi tentang Hamka yang kini tersimpan di berbagai universitas di Barat. Di Pusat Studi Hamka itulah para peneliti dari berbagai dunia bisa datang dan melakukan penelitian.
Keberadaan Museum Hamka bisa dijadikan sebagai langkah awal untuk membangun Pusat Studi Hamka semacam itu. Sebab, sungguh tidak sepatutnya jika Hamka “dimuseumkan”. Tidak ada tradisi ulama kita untuk dimuseumkan. Kita tidak pernah mengenal ada Museum Imam Syafii, Museum Imam Ghazali, Museum Ibnu Taymiyah, dan sebagainya. Yang perlu kita warisi dan kita kembangkan dari para ulama dan tokoh-tokoh kita adalah ilmu dan perjuangannya. Maka, buku-buku dan seluruh karya mereka harus kita letakkan di tempat yang terhormat. Kaum Muslim Indonesia tidak akan mengenal tokoh-tokoh kita sendiri, jika para cendekiawan, ulama, dan tokoh-tokoh umat Islam tidak mengembangkan warisan tradisi ilmu dari para pendahulu kita.
Krisis seperti ini sudah begitu tampak. Banyak aktivis Islam yang mengenal nama-nama Hasan al-Banna, Taqiyyudin al-Nabhani, Yusuf al-Qaradhawi, dan sebagainya. Tetapi, mereka mungkin sama sekali tidak mengenal Hamka, Natsir, AR Sutan Mansur, Agus Salim, Nuruddin al-Raniri, Yusuf Maqassari, dan sebagainya. Disamping mengenal tokoh-tokoh Islam dari berbagai belahan dunia, sudah seharusnya generasi muda Muslim juga mengenal para pejuang Islam di wilayah Nusantara ini. Sebab, merekalah yang telah berjasa besar dalam menyebarkan, menjaga, dan mengembangkan Islam di wilayah Nusantara.
Penyebaran Islam di wilayah Nusantara (Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Brunei) merupakan suatu proses perjuangan yang sangat hebat. Bagaimana satub kawasan yang selama ratusan tahun didominasi oleh kepercayaan animis, Hindu, Budha, kemudian berubah menjadi kawasan Islam melalui proses dakwah. Jika kita telaah sejarah masuk dan penyebaran Islam di wilayah Nusantara ini, kita akan menemui banyak tokoh dan figur yang sangat hebat kualitasnya.
Sebutlah contoh kasus para wali yang menyebarkan Islam di Indonesia. Dalam bukunya, Sejarah Kebangkitan dan Perkembangan Islam di Indonesia, (1981), KH Saefuddin Zuhri mencatat, Maulana Malik Ibrahim memulai dakwahnya di wilayah Gresik pada tahun 1399. Berdasarkan batu nisan makamnya, Maulana Malik Ibrahim meninggal tahn 1419. Berarti, dalam waktu sekitar 20 tahun, wali ini telah berhasil mencetak kader-kader dakwah unggulan di tanah Jawa, mengingat para wali di Jawa adalah murid dari Maulana Malik Ibrahim.
Dari hasil perkawinannya dengan salah satu putri Kerajaan Cempa, lahirlah Raden Rahmat, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel. Saifuddin Zuhri mencatat bahwa perkawinan Maulana Malik Ibrahim dengan Putri Kerajaam Cempa itu menunjukkan adanya hal yang luar biasa pada diri sang wali. Dua putri Cempa lainnya dikawinkan dengan Raja Majapahit. Jadi, kedudukan Maulana Malik Ibrahim setara dengan Raja Majapahit. “Kalau tidak karena pribadi Maulana Malik Ibrahim yang hebat sekali, tidak mungkinlah rasanya akan disejajarkan dengan seorang raja kerajaan Majapahit, “ tulis Saifuddin Zuhri.
Para wali yang menyebarkan Islam di Jawa adalah para ulama yang sangat gigih dalam memperjuangkan Islam. Saudara Maulana Malik Ibrahim, yakni Maulana Ishaq, mempunyai putra Raden Paku (Sunan Giri) dan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Maulana Malik Ibrahim berhasil mendidik santri-santrinya menjadi mubaligh-mubaligh Islam yang sangat gemilang. Anaknya sendiri, Sunan Ampel, kemudian diserahi oleh para santri Maulana Malik Ibrahim untuk memimpin pesantren ayahnya. Kepemimpinan dan ilmunya diakui oleh masyarakat luas. Dia kemudian diambil menantu oleh Raden Ario Tejo, seorang Adipati Kerajaan Majapahit yang sangat berpengaruh. Salah satu santri Sunan Ampel adalah Raden Patah, putra Raja Majapahit, Sri Kertabhumi. Sunan Ampel memiliki enam orang anak, diantaranya ialah Sunan Bonang dan Sunan Drajat.
Kisah-kisah gemilang para pejuang Islam di wilayah Nusantara ini harus terus digelorakan kepada generasi muda Islam, agar mereka tidak buta sejarah dan tidak tertipu oleh sejarah. Banyak orang Muslim yang tidak bangga menjadi Muslim dan tidak menjadikan tokoh-tokoh Islam sebagai idola mereka, karena tidak mengenal sejarah Islam dengan benar. Mereka lebih membanggakan Napoleon, George Washington, Thomas Jafferson, dan sebagainya, ketimbang Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib, atau Umar bin Abdul Aziz. Para orientalis cukup berhasil menampilkan sejarah Islam dalam wajah yang sangat buruk. Jika membaca sejarah tentang Umar bin Khatab, misalnya, yang disorot adalah kisah pembunuhan terhadap Umar bin Khatab, bukan kehebatan, kecerdasan, dan kenegarawanan Umar r.a.
Masih banyak aspek sejarah Islam di Indonesia yang perlu diteliti dan ditulis oleh para sejarawan Muslim saat ini. Hamka termasuk seorang ulama yang sangat peduli dengan sejarah Islam di Indonesia. Dalam acara Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, 17-20 Maret 1963, Hamka membawakan makalah yang berjudul ”Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di daerah Pesisir Sumatera Utara”. Dalam forum tersebut, Hamka menegaskan kembali pendapatnya sejak tahun 1958, bahwa Islam yang masuk ke Indonesia diterima langsung dari Mekkah. Hamka menolak pendapat Snouck Hurgronje bahwa Islam yang di bawa ke Indonesia adalah tidak asli dari Mekkah, melainkan Islam yang dari Gujarat atau Malabar. Hamka membantah pandangan yang mengecilkan peran orang-orang Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia, dan juga kesan bahwa Islam di Indonesia tidak asli lagi, melainkan Islam yang lebih dekat kepada syiah atau tradisi mistik India.
Hamka juga menyimpulkan Islam telah berangsur masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 Masehi. Juga, simpul Hamka, orang-orang Indonesia sejak abad pertama Hijriah telah menggali ajaran Islam yang berintikan mazhab Syafii. KH Abdullah bin Nuh, dalam bukunya, “Ringkasan Sejarah Wali Songo” juga mengemukakan bukti bahwa ajaran Wali Songo juga berintikan tauhid dengan rujukan-rujukan kitab ulama-ulama bermazhab Syafii, seperti Kitab “Ihya’ Ulumuddin,“ karya Imam al-Ghazali dan kitab ‘Talkhis al-Minhaj’ karya Imam Nawawi.
Sekarang memang banyak sarjana yang dalam hal sejarah mungkin lebih mampu menulis dengan labih baik dari Hamka. Tetapi, sekali lagi, para ulama dan tokoh Islam dulu bukan sekedar belajar untuk belajar semata. Bukan sekedar meneliti untuk penelitian semata. Mereka menekuni keilmuan Islam adalah semata-mata untuk meningkatkan keimanan dan memperjuangkan Islam. Semangat ilmiah dan perjuangan dalam dakwah Islam semacam inilah yang perlu kita warisi dari para ulama dan tokoh seperti Buya Hamka. [Depok, 2 Februari 2007, www.hidayatullah.com].


Tidak ada komentar: