Hari Raya Idul Fitri datang dan pergi. Maraknya Islam dalam pemberitaan politik dan siaran-siaran religius rupanya berimbas nyata. Islam makin menjadi bagian dari bisnis. Produk dan jasa yang mengklaim nafas islami, meramaikan pasar. Nuansa Islam menjadi trade mark dalam kehidupan keseharian khalayak. Tapi apakah ini manifestasi di permukaan belaka, citra yang utuh, ataukah mewakili trend politik? Islam Indonesia, lain di publik, lain di politik.
Islam menjadi bisnis dan pasar, di masa-masa menjelang, dan seputar perayaan Hari Raya Idul Fitri. Acara-acara buka puasa bersama sampai Hari Raya Idul Fitri, kini menjadi gejala sosial yang mencolok dan penting, di semua lapisan. Islam semakin tampil publik. Lebaran datang melahirkan gejala eksodus massal atau mudik alias pulang kampung, serta berbagai keramaian di masjid. Di ibukota, tak kurang sebelas ribuan polisi dan anggota masyarakat dikerahkan untuk mengawal takbiran, sebuah ritual tradisional Betawi yang dulu hanya berpusat di masjid-masjid dan surau, tapi kini beralih ke jalanan.
Pembaruan Budaya Religius
Namun, Lebaran tidak hanya pesta rakyat. Gengsi perorangan, kumpulan dan lembaga, di mata publik dan kerabat pun makin penting, ketika acara-acara dan perayaan Idul Fitri itu sendiri menjadi ajang publik yang makin menonjol. Islam, dengan begitu, juga menjadi panggung. Silahturahmi di kampung, di rumah-rumah pejabat, disiarkan televisi. Semua itu kini menjadi bagian dari tuntutan sosial, imperatif politik dan manifestasi pembaruan budaya religius.
Dan, semua itu membuat Islam menjadi pasar yang meluas. Pasar menggalang minat dengan menunjuk pada jati-diri sosial-religius dalam berbagai produk dan jasa. Maka kalau enam juta penduduk Jakarta hengkang untuk mudik, maka tidak hanya konsumsi BBM, tapi mereka juga memompa trilyunan rupiah ke daerah, dengan berbagi penghasilan. Belum lagi, pemasukan uang kiriman dari ribuan TKI yang bekerja di mancanegara, yang kabarnya, hanya untuk beberapa minggu menjelang Lebaran saja, mencapai 400 jutaan dollar atau 4 trilyun rupiah. Apalagi, kali ini libur Lebaran sampai hampir seminggu. Maka para pemudik pun menjadi agen-agen perubahan sosial yang menyebarkan trade mark islami.
Tanah Abang, pasar tekstil dan pakaian jadi terbesar di Asia Tenggara itu, sepanjang bulan Ramadhan memperlihatkan keramaian luar biasa. Ramai pengunjung. Tapi juga ramai berbagai produk bernuansa islami atau yang mengklaim demikian. Busana perempuan dari gaun, mukena atau pakaian sholat, sampai jilbab- kini semuanya menjadi mode yang peka trend. Dia silih berganti bentuk, motif dan ramuan warna sesuai selera terbaru.
Semua itu kini tersedia di Tanah Abang dan Blok M bagi konsumen bawah menengah, tapi juga laku di mall-mall yang populer bagi semua lapisan dan menjadi tempat-tempat pemanjaan elit kelas menengah kota-kota besar di Indonesia. Di balik semua itu, Lebaran juga mengungkap perbedaan kelas sosial yang makin mencolok. Di Jakarta dan Bandung, lapisan elit, kelas menengah eksodus, hengkang mencari kebahagiaan dan kenyamanan di tengah kerabatnya di daerah, membuat pusat-pusat kota sepi. Sebaliknya pinggiran dan daerah ramai, rakyat terus bekerja keras menyambung nafkah.
Namun citra Islami di tengah masyarakat, tak selalu disambut gayung hangat. Ulah mereka yang disebut Syafi'ie Maarif, mantan ketua Muhammadiyah, sebagai "preman-preman berjubah putih" alias Front Pembela Islam dan sejenisnya, dengan keberingasan kekerasannya, menjadi duri yang makin menyebalkan khalayak. Sementara itu serba-serbi produk maupun jasa tadi boleh saja mengklaim nuansa islami, namun semua itu tidak dengan sendirinya mengubah peta politik menuju Pemilu dan Pilpres 2009. Tentu saja Islam dan corak islami juga jadi jualan dalam kampanye, termasuk dan terutama di televisi.
Islam Politik
Islam jadi jualan, dan menjadi pasar seolah-olah dia utuh dan tunggal. Kenyataannya publik dan pengamat sepakat, semua ini tidak tercermin dalam islam politik. Partai-partai berbasis muslim tetap akan berselisih paham dan tak akan menyatukan jati-diri politiknya, sama saja dengan dua partai terbesar sekuler, PDIP dan Golkar, tak akan bersatu dalam sosok politik, bahkan juga kecil kemungkinan akan berkoalisi.
Padahal, dengan jumlah parpol yang membengkak dan naiknya beberapa partai menengah seperti PKS dan PPP, koalisi justru menjadi keharusan. Apalagi, dengan naiknya trend Golput, rata-rata 35 sampai 45 persen dalam Pilkada di Jawa Timur, Tengah, Sumatra Utara dan Jawa Barat, suara-suara yang tak akan terhitung ini bakal penting. Namun, PKS, partai dakwah yang diduga dapat menarik keuntungan dari trend Golput ini, pun sekarang mencoba membuka pintu sebagai partai terbuka.
Walhasil, meski Islam makin menjadi warna publik yang dominan, namun tidak terterjemahkan ke pentas politik. Jadi, islam politik, seperti pernah dicatat sosiolog Belanda, W.F. Wertheim, tetap mirip ulah kelompok yang cuma nominalnya mayoritas, namun bermental minoritas. Itulah tampaknya dampak dari Islam Indonesia yang makin kurang terbuka, namun makin berobsesi simbol, seperti pernah direkam antropolog Amerika, Clifford Geertz di Marokko.
Kutipan Asli dari Redaksi :
http://www.kabarindonesia.com (06-Okt-2008, 00:21:27 WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar